Pamekasan – Mendekati pendaftaran calon dalam pilkada serentak akhir-akhir ini kita masyarakat indonesia dihebohkan dengan lahirnya putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang mana ini membawa angin segar dalam proses Demokrasi kita. Sebagaimana dijelaskan bahwa, partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon kepala daerah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam putusan tersebut beberapa syarat-syaratnya.
Tidak hanya itu, MK menolak permohonan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Secara jelas dan terang dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.
Maka dari itu putusan MK tersebut bersifat “final and binding” dengan makna bahwa putusan MK adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lagi terhadap putusan MK tersebut, dan sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Ini berbanding terbalik dengan putusan Mahkamah Agung (MA) tentang batas usia Calon Kepala Daerah beberapa bulan lalu yang menjelaskan batas usia calon kepala daerah itu terhitung saat dia dilantik menjadi kepala daerah. Yang mana ini menjadi kontrofersi dikalangan masyarakat yang seakan ada cawe-cawe penguasa dalam hal ini pemerintah untuk meloloskan sosok putra bungsu presiden untuk maju di pilkada pencalonan gubernur di salah satu daerah.
Isu tersebut semakin santer ketika gabungan partai kolitik di DKI Jakarta yang disebut Koalisi Indonesia Maju (KIM) PLUS mengusung figur Ridwan Kamil dan Suswono seolah menutup parpol lainya untuk mengusung figur lainnya. Tidak hanya itu juga di jawa tengah beberapa parpol KIM PLUS mengusung Ahmad Lutfi dan Kaesang sang anak presiden.
Ini semua semakin menguatkan dugaan bahwa telah terjadi intervensi kekuasaan terhadap partai politik. Sehingga hadirmya putusan MK hari ini menjadi angin segar tidak hanya dalam proses demokrasi indonesia kedepan melainkan juga menjadi perlawanan atas kekuasaan yang dinilai telah mencederai demokrasi.
Alih-alih tidak terima dengan putusan MK, Tiba-tiba DPR RI Melalui Badan Legislasi (Baleg) dan Pemerintah melanjutkan rapat pembahasan RUU Pilkada secara kilat dan melalui voting beberapa fraksi menolak putusan MK dengan mengatakan kembali ketentuan UU dan peraturan sebelumnya.
Berdasarkan hal terbut, DPR dan Pemerintah kami dinilai terjadi persekongkolan dan pembangkangan terhadap konstitusi negara yang seharusnya antara lembaga negara mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif saling bekerjasama dan saling menghargai keputusan masing-masing, sebagaimana sudah dijelaskan tugas pokok dan fungsinya dalam UUD. Akan tetapi DPR RI malah menganulir putusan MK yang seharusnya telah Final dan Mengikat dimana telah termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK.
Dari beberapa penjelasan di atas, ini menjadi atensi bersama baik dari kalangan pakar Tata Negara dan Aktivis mahasiswa. Bahwa dalam perjalanan Demokrasi dan Konstitusi kita sekarang tidak baik-baik saja. Diketahui juga dalam perjuangan melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana yang telah diperjuangkan sejak reformasi hingga hari ini telah dirusak oleh orang-orang yang haus akan kekuasaan.
Maka dari itu kami Aktivis Mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Pamekasan Mengajak seluruh Anggota dan Kader Se-Indonesia khususnya Anggota dan Kader PMII Pamekasan untuk mengecam tindakan DPR RI & Pemerintah yang inkonstitusional serta dengan kuat keinginannya dalam melanggengkan kekuasaan.
Penulis: Abdurrahman Wahid (Co. Biro Kerjasama dan LSM – Bidang II Eksternal PC. PMII Pamekasan)